Sabtu, 07 Maret 2020

Belajar Menerbitkan Buku Secara Mandiri

Selain menerbitkan di penerbit mayor, saya kira Anda juga patut mencoba menerbitkan di penerbit indie (Saya sebenarnya kurang sepakat dengan kategorisasi mayor dan indie ini. Penerbit ya penerbit, tidak ada mayor atau indie. Ada yang skala besar dan ada skala kecil. Ada yang menggunakan jasa distributor dan ada yang tidak. Ada yang dijual di toko-toko buku dan ada yang tidak. Itu saja. Tentu saja, ada yang bermodal besar dan ada yang bermodal nekat, hehe.). Mengapa? Ya minimal Anda bisa merasakan perbedaannya; plus dan minusnya.
Kebetulan saya sudah mencoba dua hal itu. Sebagian besar buku saya diterbitkan penerbit mayor. Ada yang pembayarannya jual-putus dan ada yang royalti. Ada yang sudah mengalami cetak ulang berkali-kali, dan ada juga yang masih mangkrak, di mana UMR (Uang Muka Royalti)-nya saja masih belum tertutupi oleh hasil penjualannya. Dengan kata lain, aku masih punya utang kepada penerbit yang sudah menerbitkan buku tersebut, hehe..
Bulan April 2017 saya menerbitkan buku secara mandiri yakni dengan jalur indie. Saya terbitkan dengan penerbit saya sendiri, Maghza Pustaka. Pada awalnya, tidak ada niat buku itu mau dikomersilkan. Secara konten, saya pikir “ah paling tidak ada yang minat dengan buku semacam ini. Lagian, siapalah saya ini di jagat literasi.”  Tapi, siapa nyana, saya cetak 200 eksemplar, hanya dalam waktu 1 bulan buku tersebut ludes… des. Saya langsung sujud syukur.
Saya hanya menjual lewat Facebook, Instagram, dan WAG. Sampai saat ini buku tersebut masih saja ada yang ingin membelinya, baik melalui inbox, Instagram, WA, maupun acara-acara workshop dan seminar yang saya isi. Tapi dengan berat hati saya jawab buku tersebut sudah habis. Semoga saja ada dana untuk mencetaknya lagi.
Saya merasa ada kepuasan tersendiri pada saat menerbitkan buku secara mandiri. Saya benar-benar menikmati di setiap langkahnya, mulai dari menulis naskah, memproses pra cetak, mencetak, dan tentu saja mengumpulkan dana untuk biaya penerbitannya. Setelah itu menjualnya. Tak lupa membubuhi tanda tanganku di buku tersebut. Lelah tapi puas. Sekali lagi saya sujud syukur.
Sejauh ini respons buku tersebut juga baik. Ada banyak yang mengomentari isi buku tersebut. Selain teknik menulisnya yang katanya mengalir dan ngepop, dan juga kontennya benar-benar menyentil banyak orang. Minimal ikut merasakan apa yang saya rasakan dan memikirkan apa yang saya pikirkan, atau bahkan mereka punya pengalaman yang sama dengan saya tulis. Bagi saya ini merupakan pencapaian yang luar biasa, di luar ekspektasi saya. Lagi-lagi saya sujud syukur.
Salah satu keuntungan menerbitkan buku secara mandiri adalah royalti yang saya dapatkan sebanyak 100 persen, bukan 10 persen. Harga bukunya juga saya yang menentukan. Jadi kalau buku saya modalnya 15 ribu rupiah per eks dan saya jual 50 ribu, itu sudah lebih dari cukup keuntungannya, apalagi buku tersebut ludes habis.. bis. Kali ini tidak hanya sujud syukur, tapi juga bisa memberi seluruh royalti buku tersebut kepada istri saya. Alhamdulillah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar